go-explore

Cerita Sade

Jika Sobat Pesona merencanakan perjalanan ke Lombok, kalian bisa mampir ke salah satu #DesaWisataLombok yang cukup populer di kalangan wisatawan yaitu, Dusun Sade atau yang juga dikenal dengan sebutan Desa Wisata Budaya Suku Sasak. Dalam perjalanan dari dan menuju bandara, kita dapat melewati destinasi wisata yang berjarak sekitar 25 menit dari Bandar Udara Internasional Zainuddin Abdul Madjid ini.

Menurut Kepala Desa Rembitan, Lalu Minaksa, sejatinya “Sade” adalah nama sebuah dusun di dalam wilayah Desa Rembitan. Berkat posisinya yang strategis di Jalan Raya Praya-Kuta, dusun ini tumbuh jadi salah satu tujuan wisata favorit di Lombok Tengah, sehingga orang lebih mengenalnya dengan nama “Desa Sade”. Namun kali ini, sesuai keterangan Bapak Kepala Desa, kita akan menyebutnya dengan nama Dusun Sade.

Bicara tentang perkembangan Dusun Sade sebagai tempat wisata, ternyata sejak 1975-an para pejalan telah mengunjungi dusun ini. Kita tak perlu bingung begitu tiba di sana, karena pemandu dengan busana adat setempat langsung menyambut kita di pintu masuk. Ada 50 orang pemandu resmi di Dusun Sade dan mereka bergiliran menemani wisatawan.

Sebagai referensi agar kunjungan kalian lebih seru, intip yuk, cerita kami dari Dusun Sade.

 

Penduduk Dusun Sade

#DiIndonesiaAja ada banyak desa yang masih mempertahankan keaslian budaya dan adatnya hingga sekarang, tak terkecuali di Dusun Sade. Dusun Sade terdiri atas 150 rumah, sebagian besar masih berupa rumah tradisional dengan atap berbentuk unik tersusun dari ilalang yang harus diganti setiap 8 tahun sekali. Lantai dari tanah, yang secara berkala dilulur dengan kotoran kerbau atau sapi agar tidak retak-retak dan berdebu.

Terdapat lokasi untuk bisa melihat seluruh Dusun Sade, yaitu dari titik tertingginya. Lanskap Dusun Sade memang berundak, jadi bisa dipersiapkan dengan mengenakan pakaian dan sepatu yang nyaman untuk mendaki.

Sekitar 750 orang Suku Sasak tinggal di wilayah Dusun Sade. Mereka berkerabat atau berasal dari garis keturunan yang sama. Warga Dusun Sade menetap di lokasi tersebut. Namun dikatakan pamong praja setempat, pemerintah daerah juga menyediakan rumah bagi warga, yang terletak di luar area desa wisata. Tujuannya, agar warga tidak “merusak” rumah tradisional mereka di Dusun Sade dengan membangun rumah baru yang lebih modern.

Para pria umumnya bertani atau menjadi buruh sawit. Karena itu, saat kita mengunjungi Dusun Sade, biasanya akan lebih banyak bertemu kaum wanita. Kesibukannya beragam; menenun, merawat anak, menjajakan cindera mata, menumbuk kopi, memasak, dan kegiatan lainnya. Namun terdapat pula kaum prianya, misalnya para pemandu atau pengrajin gelang akar bahar.

Menurut pemandu, kepercayaan setempat dulunya adalah gabungan antara Animisme, Hindu, dan Muslim. Namun Suku Sasak biasanya menganut agama Islam.

 

Tradisi Kawin Culik

pemuda

Saat Pemuda Dusun Sade ingin menikahi pujaan hatinya, mereka tidak datang dengan baik-baik kepada calon mertua untuk melamar. Para pemuda harus diam-diam menculik wanita idamannya, membawa si gadis ke rumah kerabat malam-malam, hari berikutnya barulah membicarakan tentang pernikahan dengan keluarga si gadis.

Menikahi gadis yang sama-sama tinggal di Dusun Sade, maharnya lebih murah. Bisa hanya sekitar Rp 100 ribu. Tapi, kalau ingin menikahi gadis dari luar Dusun Sade, harus berani merogoh kocek lebih dalam, bisa seharga dua ekor kerbau.

 

Gadis Dusun Sade Pantang Makan Sayap Ayam?

Gadis Sasak, termasuk yang tinggal di Dusun Sade, wajib bisa menenun. Mereka tidak diizinkan menikah jika belum lihai melakukannya. Saking wajibnya keterampilan satu ini dimiliki, sampai ada mitos bahwa anak perempuan di sana dilarang makan sayap ayam. Wah, apa ya, alasannya?

Rupanya, bentuk sayap ayam yang mirip tangan tertekuk kaku, dipercaya menghambat keluwesan tangan para gadis saat belajar memainkan alat tenun.

wanita

Selembar selendang yang ditenun secara manual, dibanderol seharga Rp 150 ribu dan pembuatannya memakan waktu sekitar seminggu. Kita bisa membeli selendang dan kain tenun ini dari kios cinderamata di dalam Dusun Sade.

Saat memberi oleh-oleh, jangan takut menawar barang, karena memang harga pertama adalah harga yang harus ditawar. Keuntungan penjualan souvenir di Dusun Sade, akan dikumpulkan dan dibagi bersama dengan sistem koperasi.

 

Banyak yang Belum Bisa Bahasa Indonesia

Warga yang menetap di Dusun Sade, banyak yang tidak terbiasa dengan Bahasa Indonesia, terutama yang sudah berusia lanjut. Mayoritas mereka bahkan tidak mengenyam bangku sekolah. Namun berkat perkembangan #SadarWisata terus meningkat dan popularitas Dusun Sade sebagai desa wisata yang memberikan mata pencaharian baru, kini anak-anak di sana dapat bersekolah, dan kesejahteraan warga pun lebih layak.

Percakapan sehari-hari dilakukan dalam bahasa daerah. Seperti saat para ibu menyuruh Alit, anak laki-laki yang kami temui, untuk mengupas Beliling (batang sorghum, semacam tebu) yang dia pegang. “Lukik (kupas),” kata seorang ibu. Setelah berhasil mengupas Beliling dengan geliginya dan menyesap-nyesap, Alit tersenyum dan berujar puas, “Mate (manis)!”

Alit dan kawannya Abdul hari itu tidak bersekolah, karena akhir pekan. Mereka bermain bersama anak-anak Dusun Sade lainnya, sementara para ibu meneruskan kesibukan masing-masing. Sungguh menyenangkan melihat para wanita Dusun Sade bekerja. Tangan mereka tidak berhenti bergerak, sementara senyum dan sapanya ramah selalu menyapa kami yang datang.

Jika kalian berkunjung ke #DesaWisataLombok lain waktu, sampaikan salam rindu kami pada Alit dan Abdul di Dusun Sade, ya!

kupas-beliling

Alit sibuk mengupas Beliling